Jumat, 13 April 2012

ADILKAH PEMBAGIAN WARIS DALAM ISLAM ???



Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri. MA
Soal:
Bismillah. Assalamu'alaikum warahmatullah. Afwan, ada sebagian orang berpendapat bahwa pembagian waris harus memenuhi unsur keadilan (syari'at mengatur laki-laki mendapat 2 bagian wanita 1 bagian) mereka berpendapat jika seperti itu kemungkinan tidak adil.Misalnya, si laki-laki kaya (mampu) sedangkan si wanita miskin, jika diberikan 2 bagian untuk laki-laki berkata tidak adil. Betulkah pendapat mereka? Pembagian waris laki-laki dan wanita 2:1, apakah memang dalam semua kondisi (misal contoh diatas)? atas jawabannya saya ucapkan, "Jazakumulloh khoirol jaza '." 
 Jawaban:
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi MuhammadShallallahu 'alaihi wa sallam , keluarga, dan sahabatnya.
Keadilan adalah dasar tegaknya alam semesta. Karenanya, wajar bila keadilan adalah bagian dari prinsip utama syari'at Islam. Dan Allah membenci dan memerangi segala bentuk kezhaliman.
Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat zholim (QS. Ali Imran [3]: 57)
Bukan hanya mengharamkannya pada umat manusia saja, bahkan Alloh Ta'ala juga mengharamkannya atas diri-Nya sendiri
"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan tindak kezholiman atas diri-Ku sendiri, dan Aku mengharamkannya atas kalian, maka jangan saling mengzhalimi." (HR. Muslim)
Anda bisa membayangkan betapa pentingnya keadilan, bila ternyata Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa juga melarang tindak kezhaliman atas diri-Nya. Bila demikian adanya, mungkinkah ada satu syari'at-Nya yang mengandung kezhaliman atau ketidakadilan?
Hanya, yang perlu diluruskan adalah definisi tentang keadilan. Apa dan menurut siapa Anda mendefinisikan kata keadilan? Kaum komunis memiliki definisi tersendiri, sebagaimana kaum kapitalis dan sekuler juga memiliki definisi tersendiri.
Nah, keadilan menurut siapa yang Anda inginkan? Mungkinkah Anda sebagai orang yang beriman menginginkan keadilan sebagaimana yang dideskripsikan oleh kaun komunis? Atau mungkinkah Anda memahami arti keadilan sebagaimana yaang dipahami oleh kebanyakan orang, yaitu "sama dalam segala hal"?
Bila ini yang Anda inginkan, perkenankah saya balik bertanya, menurut hemat Anda, adilkah bila suami Anda dihiasi dengan beraneka ragam make up , mengenakan perhiasan, dan berjalan berlenggak-lenggok dengan mengenakan pakaian sebagaimana yang Anda kenakan? bila Anda pria, sudikah Anda menikahi wanita yang berpostur tegap, bersuara lantang, tidak pernah mengenakan make up, berambut cepak, dan berprofesi sebagai tukang ojek? Relakah bila istri Anda mendapatkan tugas dari Pak RT untuk ronda malam, menjaga keamana kampung Anda?demikianlah keadilan yang Anda maksudkan?
Bila Anda rela menerima keadilan dengan aplikasi di atas, maka saya tidak lagi kuasa untuk mengomentari pertanyaan Anda ini. Dan bila Anda tidak rela, maka berarti kita memiliki kesamaan bahwa keadilan harus sesuai dengan kodrat ilahi pada masing-masing kita.
Anda merasa bahwa pria yang berdandan dengan make up, berkebaya, yang berlenggak-lenggok telah menyalahi kodrat ilahi sehingga tidak layak untuk menjadi suami. Demikian pula halnya dengan wanita yang berambut cepak, bersuara keras, dan berprofesi sebagai tukang ojek, tidak layak menjadi istri. Kalau begitu, ketahuilah bahwa ketika Alloh menetapkan bahwa bagian anak lelaki dari warisan orang tuanya dua kali lipat dari warisan anak perempuan, maka itu sesuai dengan kodrat mereka.
Allah telah mensyari'atkan pada kalian perihal warisan anak-anakmu. Anak lelaki mendapatkan bagian sama dengan bagian dua anak perempuan. (QS. An-Nisa '[4]: 11)
Syari'at ini sesuai dengan garis kodrat pria yang berkewajiban untuk menafkahi dan memimpin kaum wanita. Dengan demikian, syari'at ini adil dan tidak ada yang perlu dirisaukan. Meskipun wanita mendapatkan bagian yang sedikit, seluruh bagiannya itu hanya ia nikmati seorang diri.Sebab itu, walau nominalnya kecil, faktor pembaginya hanya seorang, maka hasilnya menjadi besar. Adapun anak pria, walau ia mendapatkan bagian dua lipat, ia harus menggunakannya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Dengan demikian, walaupun nominalnya besar, pada akhirnya menjadi sedikit.
Kaum pria (suami) adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian lainnya (kaum wanita), dan karena mereka (kaum pria) memberikan nafkah dari hartanya. (QS. An-Nisa '[4] : 34).
Bisa jadi Anda akan berkata, "Apa yang Anda utarakan itu hanya terjadi pada zaman dahulu.Akan tetapi, zaman sekarang kaum wanita pun ikut mencari mencari nafkah dan membiayai keluarga. "
Baiklah saudaraku, bila Anda berkata demikian maka perkenankan saya balik bertanya, "Akankah perubahan yang menyalahi kodrat ini menjadikan Anda mengubah persepsi tentang keadilan, sehingga sekarang Anda rela untuk menikahi pria atau wanita yang saya gambarkan di atas?
Perubahan yang terjadi tersebut identik dengan perubahan yang terjadi pada kesehatan mata Anda. Pandangan Anda berkunang-kunang sampai segala benda tampak samar bahkan seakan-akan menjadi ganda. Mungkinkah kala itu Anda mengubah persepsi Anda tentang kepastian bahwa setiap benda yang Anda pandang hanya satu? atau Anda yang berusaha untuk mengobati perubahan yang terjadi pada kesehatan mata Anda agar kembali seperti sedia kala.
Saya yakin, Anda akan berusaha mengobati mata Anda agar kembali seperti sedia kala, karena ketetapan benda-benda yang Anda saksikan hanya satu adalah sesuatu yang pasti dan benar.Demikian pula hendakny Anda menyikapi perubahan persepsi dan pola pandang terhadap pembagian warisan. Kembalikan cara pandang dan sikap kaum pria agar bertanggung jawab penuh atas istri dan anak-anaknya. Dengan begitu, Anda kembali bisa merasakan indahnya keadilan Islam dalam membagi warisan. Dan pola pikir Anda pun kembali sehat dan sesuai dengan kodrat ilahi.
Semoga jawaban singkat ini bermanfaat bagi saudaraku sekalian, dan semoga pola pikir umat Isla dapat kembali sehat seperti dulu pendahulu umat ini memandang berbagai permasalahan mereka. Wallahu Ta'ala A'lam bish shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar